HARTA HARAM
Oleh:
Azhari
Sebagai
karyawan perusahaan kita harus memahami akad ijaroh, yakni akad antara kita
sebagai pekerja (ajir) dengan perusahaan sebagai pemberi kerja (muajir),
biasanya akad ini berupa kontrak kerja, surat pengangkatan, KKB atau peraturan
perusahaan. Sehingga menjadi jelas apa yang menjadi hak kita dan bukan menjadi
hak kita dan menghindarkan kita dari harta-harta haram yang mungkin saja
terambil oleh kita.
Harta
yang diperoleh melalui jalan yang tidak halal, dalam istilah agama dikenal
dengan “Harta Ghulul” yakni harta yang diperoleh melalui perbuatan curang, baik
kita sebagai karyawan pemerintah maupun swasta.
Barangsiapa yang berbuat curang, pada hari
kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya (Ali Imran 161).
Harta
ghulul ini bisa diperoleh melalui 4 cara; suap (risywah), hadiah (hibah),
komisi (‘amulah) dan korupsi.
Suap
(risywah), yakni harta yang diperoleh atas jasa melancarkan suatu urusan
(misal: mengurus SIM, KTP, Bea Cukai, STNK, Izin Usaha, dll.)
Hadiah
(hibah), yakni harta yang diperoleh atas penghargaan atas jasa-jasa yang
bersangkutan atau diharapkan adanya keuntungan dikemudian hari atas pemberian
hadiah tersebut (souvenir, parcel, dll.).
Komisi
(‘amulah), yakni harta yang diperoleh hasil balas jasa transaksi dengan supplier.
Korupsi,
yakni harta yang diperoleh dari mark-up suatu project atau mengambil harta
perusahaan/negara.
Semua
harta-harta ini merupakan harta yang haram untuk diambil, karena bukan hak kita
sebagai karyawan untuk mengambilnya. Karena baik harta suap, hadiah, komisi
atau korupsi merupakan harta yang diperoleh diluar gaji kita. Sedangkan untuk
mengerjakan suatu pekerjaan kita telah digaji untuk itu, sehingga apapun selain
gaji maka bukan hak kita dan haram mengambilnya.
Rasulullah
mengangkat Ibnu Utabiyah untuk menarik zakat Bani Sulaim. Setelah kembali dan
menghadap Rasulullah, Ibnu Utabiyah berkata: “Ini untuk engkau dan ini adalah
hadiah yang diberikan orang kepada saya, lalu Rasulullah bersabda:
Ini adalah (harta) untuk anda, dan ini
(harta yang) dihadiahkan kepadaku. (Jika memang benar itu hadiah) apakah tidak
sebaiknya ia duduk saja dirumah bapak atau ibunya, lalu (lihat) apakah hadiah
itu akan diberikan kepadanya atau tidak?. Demi zat yang jiwaku ada dalam
genggaman-Nya, tidak akan ia membawa sesuatu melainkan dihari Kiamat nanti ia
akan memikul (kesalahannya) diatas pundaknya (HR Bukhari).
Siapa saja yang kami beri tugas melakukan
sesuatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rizki (gaji) maka yang
diambil olehnya selain itu adalah kecurangan (HR Abu Dawud).
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa jika seseorang untuk mengerjakan sesuatu
pekerjaan telah dibayar maka apapun selain itu bukan menjadi haknya dan haram
mengambilnya. Jika ia duduk-duduk saja dirumah (tidak bekerja diperusahaan itu)
apakah para penyuap dan supplier itu akan mengantarkan harta itu kerumahnya?,
tentu tidak!.
Dalam
hal ini yang berdosa tidak hanya yang menerima suap, tetapi penyuap dan
perantara keduanya ikut berdosa,
Rasulullah saw melaknat penyuap, penerima suap
dan orang yang menyaksikan penyuapan (HR Ahmad).
Sungguh
pedih siksa Allah bagi orang-orang yang mengambil harta ghulul (curang) ini,
jika harta ghulul itu berupa makanan, maka daging yang berasal dari makanan
hasil ghulul ini akan dibakar api neraka.
Setiap daging yang tumbuh dari usaha yang
haram maka neraka lebih pantas baginya (HR Ahmad).
Jika
harta ghulul itu digunakan untuk membeli benda-benda, maka benda itu harus
dibopong dipundaknya diakhirat nanti. Jika hartanya dibelikan rumah, mobil atau
tanah, maka mereka harus membopong rumah, mobil atau tanah dipundak mereka dan
ditambah adzab neraka yang pedih.
Bahwa Rasulullah saw pernah mengangkatnya
sebagai petugas pengumpul zakat. Beliau bersabda: ‘Wahai Abu Mas’ud,
berangkatlah, semoga pada hari kiamat kelak aku tidak akan mendapatimu datang
dalam keadaan punggungmu memikul seekor unta shadaqah yang meringkik-ringkik
yang engkau curangi. Aku menjawab: ‘Jika demikian aku tidak jadi berangkat’.
Beliau menjawab: ‘Aku tidak memaksamu’ (HR Abu Dawud).
Bagaimana
pula jika harta itu diinfaqkan kemesjid, fakir miskin, panti asuhan, dll, hal
ini tetap harus dipertanggung-jawabkan. Dan Allah tidak menghargai bagusnya
niat dan mulianya tujuan jika cara kerjanya diharamkan, menafkahkan harta haram
tidak syah menurut Islam. Semua amal kebaikan diatas tidak menyucikan harta
haram itu dan tidak menghapus dosa-dosanya.
Sesungguhnya Allah itu thayib (baik), tidak
menerima (suatu amal) kecuali yang baik (halal) (HR Muslim).
Dan janganlah kamu campur-adukkan antara
yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang
kamu mengetahui (Al-Baqarah 42).
Walhasil,
agar berhati-hati dalam mencari nafkah, lebih baik berhenti sejenak memastikan
harta itu halal atau haram sebelum mengambilnya. Dan mulailah dari hal-hal yang
kecil terlebih dahulu:
- apakah pulpen/stabilo/tip-ex kepunyaan kantor digunakan juga untuk kepentingan pribadi?
- apakah pulsa HP yang dibayarkan oleh kantor digunakan juga untuk kepentingan pribadi?
- apakah masih menerima souvenir indah (pulpen, jam meja atau kalkulator) dari supplier atau customer?
- apakah masih menerima parcel diakhir tahun dari supplier atau customer?
Sehingga
jika menerima yang lebih besar berupa suap atau komisi akan mantap untuk
menolaknya. Begitulah orang yang bertaqwa, sangat berhati-hati melangkah
bagaikan berjalan diatas batu yang tajam.
Wallahua’lam bishshawab-------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar